Ternyata, Romansa Itu Hanya ada di Kepala

 

Sumber gambar: https://mydirtsheet.com/2023/12/01/jatuh-cinta-seperti-di-film-film-review/

Penulis: Isma'ul Ahmad

Diterbitkan: 


Beberapa hari yang lalu, saya menonton film berjudul “Jatuh Cinta Seperti di Film-film”. Film ini bercerita tentang seseorang yang berjuang keras menulis naskah film demi membuktikan cintanya kepada seseorang. Kisahnya begitu mengharukan, hingga membuat saya merenung, “Apakah cinta bisa sekuat itu?” Saya pikir, mungkin di dunia nyata, ada orang-orang yang rela melakukan hal-hal luar biasa demi cinta. Jika kamu bertanya, “Benarkah ada yang seperti itu?” sambil tersenyum, saya akan menjawab, “Ada.” Energi yang muncul dari seseorang yang jatuh cinta kadang memang sulit dipercaya. Bayangkan, jika diminta menulis naskah, membangun seribu candi, atau bahkan membuat telaga dan perahu dalam satu malam, rasanya mereka akan bilang, ‘Siap!’ Cinta bisa memberikan kekuatan tak terduga, seolah-olah semua hal yang tadinya tampak mustahil, tiba-tiba terasa mungkin. Tapi, apakah semua itu selalu berakhir manis? Nah, di situlah dilema sebenarnya muncul. Jika cinta itu terbalas, perasaan yang kita rasakan luar biasa, seperti mimpi yang akhirnya terwujud. Setiap usaha, setiap pengorbanan, terasa sepadan. Tapi, kalau tidak terbalas? Kita hanya bisa melanjutkan hidup, meski hati masih terasa terluka dan patah. Film ini benar-benar meninggalkan kesan mendalam pada diri saya. Jika kamu bertanya, adegan mana yang paling berkesan? Saya akan bilang, semuanya indah, tapi dengan cara yang sulit dijelaskan. Namun, ada satu dialog yang benar-benar menghentak dan membuat saya berpikir lebih dalam: “Romansa itu hanya ada di kepala.” Kalimat itu sederhana, tapi langsung menohok hati. Saya tersadar, sosok sempurna yang selama ini sering saya bayangkan dalam tulisan-tulisan saya, mungkin hanya sekadar ilusi. Sosok itu, yang begitu ideal dan menunggu di suatu tempat untuk ditemukan, mungkin hanya ada di pikiran saya. Di dunia nyata? Mungkin dia tidak akan pernah seindah itu. Sering kali, kita membangun gambaran ideal tentang seseorang di kepala kita. Sosok yang sempurna, yang mengerti kita tanpa kata-kata, yang mencintai kita tanpa syarat, yang memenuhi semua keinginan dan harapan kita. Tapi, kenyataan sering kali berbeda. Orang-orang yang kita temui di dunia nyata selalu datang dengan kekurangan. Mereka tidak pernah sepenuhnya sesuai dengan bayangan ideal kita. Lalu, apakah kita bisa menerima kekurangan itu? Atau, apakah kita akan tetap mengejar kesempurnaan yang mungkin tidak pernah ada?
Cinta, pada akhirnya, bukan tentang menemukan seseorang yang sempurna. Sebaliknya, cinta adalah tentang menerima seseorang apa adanya, dengan segala ketidaksempurnaannya.

Kita tidak bisa mengharapkan pasangan kita menjadi seperti versi ideal yang kita ciptakan dalam pikiran. Sebaliknya, kita harus bersama-sama belajar untuk saling melengkapi, untuk saling memperbaiki. Karena, pada kenyataannya, cinta sejati bukan tentang mencari yang sempurna, melainkan berusaha menjadi yang lebih baik bersama-sama. Saya jadi teringat apa yang pernah dikatakan oleh ustaz Ardyansyah, “Kalau kamu mengharapkan yang sempurna, kamu tidak akan pernah menemukannya. Lebih baik pakai prinsip rumah makan sederhana: kalau yang sederhana saja sudah bisa membuatmu bahagia, untuk apa mencari yang sempurna?” Kalimat itu benar-benar membuka mata saya. Kadang, kita terlalu terjebak dalam bayangan akan kesempurnaan. Kita terlalu sibuk mengejar sosok yang memenuhi semua standar tinggi kita. Tapi, apakah kebahagiaan harus selalu datang dari kesempurnaan? Mungkin yang kita butuhkan bukanlah seseorang yang sempurna, melainkan seseorang yang sederhana, yang bisa membuat kita bahagia dengan hal-hal kecil. Seseorang yang, meski tidak sesuai dengan semua harapan kita, tetap bisa memberikan kita kebahagiaan yang sejati. Namun, ada satu ketakutan yang sulit saya abaikan. Bagaimana jika saya sendiri tidak cukup baik? Bagaimana jika ketidaksempurnaan dalam diri saya justru menjadi penghalang bagi hubungan yang lebih baik? Bagaimana jika, dengan segala kelemahan saya, saya tidak mampu membawa hubungan itu ke arah yang saya inginkan? Dilema ini, saya rasa, bukan hanya saya yang merasakannya. Banyak dari kita yang terjebak dalam perasaan tidak pasti. Kita ingin dicintai, tapi di sisi lain, kita takut bahwa kita tidak cukup layak untuk dicintai. Lalu, ke mana kita harus pergi? Apa yang harus kita lakukan ketika ketakutan itu terus menghantui?

Sumber gambar: https://www.kapanlagi.com/


Satu hal yang saya pelajari dari film ini adalah bahwa romansa sering kali hanya ada di kepala kita. Bayangan tentang cinta yang sempurna, hubungan yang tanpa cela, kebahagiaan yang abadi—semuanya mungkin hanya fantasi. Tapi, bukan berarti kita tidak bisa merasakan kebahagiaan yang nyata. Justru, kebahagiaan sejati datang ketika kita bisa menerima kenyataan apa adanya. Ketika kita bisa merangkul ketidaksempurnaan, baik dalam diri kita sendiri maupun dalam diri orang yang kita cintai.

Hubungan yang sehat bukanlah hubungan tanpa masalah. Justru, hubungan yang baik adalah hubungan di mana kedua belah pihak bersedia bekerja sama untuk tumbuh bersama, untuk saling memperbaiki diri. Kita mungkin tidak akan pernah menciptakan romansa seperti yang ada di film-film, tapi kita bisa menciptakan sesuatu yang lebih nyata, yang lebih bermakna.

Jadi, jika kamu merasa romansa itu hanya ada di kepalamu, ingatlah bahwa di dunia nyata, ada cinta yang lebih tulus, meski tak selalu sempurna. Dan mungkin, itulah cinta yang sebenarnya lebih berharga—cinta yang menerima ketidaksempurnaan dan tumbuh bersama dari sana.
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak