Cinta Seharusnya Tidak Mengubah

Penulis: Isma'ul Ahmad

Diterbitkan: 

Sumber gambar: historia.id

Cinta seharusnya tidak mengubah.

Kalimat ini mungkin terdengar ganjil bagi kebanyakan kita yang tumbuh dengan keyakinan bahwa cinta adalah kekuatan yang tak terelakkan, yang dapat mengubah segala hal—mengubah seseorang yang kikir menjadi murah hati, mengubah keheningan menjadi cerita, atau memaksa kebencian berganti kelembutan. Namun, benarkah cinta yang sejati harus mengubah? Ataukah cinta justru adalah sebuah penerimaan, selayaknya cahaya yang menyinari tanpa meminta untuk diubah? Kisah Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal Van der Wijck memberikan pelajaran tersendiri. Dalam perih cintanya yang bertepuk sebelah tangan, Zainuddin dilanda duka yang mendalam setelah Hayati, perempuan yang ia cinta dengan sepenuh jiwa, memilih pria lain yang lebih terpandang. Di tengah kerapuhannya, Bang Mulk hadir memberi petuah: "Cinta bukan untuk melemahkan, tapi untuk menguatkan. Bukan memadamkan semangat, melainkan membangkitkan."
Cinta yang sejati tidak menuntut perubahan, namun justru memberi kekuatan.
Ibarat avtur bagi pesawat, cinta adalah bahan bakar kehidupan—bukan sekadar memacu kita untuk terus melangkah, tetapi untuk terbang lebih tinggi, menantang batas-batas yang sebelumnya tak pernah terjangkau. Cinta yang sejati memberi kita kemampuan untuk bangkit meski hati remuk, untuk tersenyum di tengah air mata. Namun, cinta yang memaksa perubahan demi keinginan orang lain adalah bentuk perbudakan yang halus, di mana kebebasan diri terenggut oleh harapan yang bukan milik kita. Betapa sering, dalam balutan cinta, kita terperangkap oleh ilusi bahwa kita memiliki kuasa untuk mengubah seseorang. Kita merasa, jika mereka benar-benar mencintai, maka mereka akan berubah sesuai dengan yang kita inginkan. Kita berharap mereka berpakaian seperti yang kita suka, berbicara dengan cara yang kita senangi, atau bersikap sesuai keinginan hati kita.
Tetapi cinta yang menuntut syarat, adalah cinta yang rapuh.
Ketika perubahan yang diharapkan tidak terjadi, cinta itu pun terurai, meninggalkan penyesalan yang menusuk. Bayangkan saat-saat kita merenung di malam hari, bertanya-tanya dalam hati: "Seharusnya aku tidak pernah mencintainya. Seharusnya aku tidak melemparkan jangkar di hati yang salah. Seharusnya aku tidak pernah menggerakkan perasaan ini dari awal." Penyesalan demi penyesalan merayap, seakan segala yang kita lakukan adalah kesalahan. Namun, cinta sejati tidak mengenal kata 'seharusnya'. Ia ada untuk diterima dengan lapang, tanpa paksaan, tanpa pengharapan yang berlebihan.
Cinta yang sejati tidak menuntut perubahan. Ia mengalir dengan tenang, seperti aliran sungai yang tidak memaksa batu untuk bergerak.
Kita mungkin mencintai seseorang dengan seluruh hati, namun cinta tidak berarti mengubah mereka menjadi bayangan diri kita sendiri. Cinta adalah penerimaan total, melihat ke dalam diri seseorang dan mencintai segala ketidaksempurnaannya, mencintai tanpa harus memintanya untuk menjadi sempurna. Pada akhirnya,
cinta sejati adalah tentang penerimaan tanpa syarat.
Ia tumbuh dari keinginan untuk memberi tanpa menuntut balasan, untuk memahami tanpa meminta dijelaskan, untuk hadir tanpa menuntut perubahan yang dipaksakan. Karena cinta yang memaksa orang lain untuk berubah bukanlah cinta, melainkan harapan semu yang terbungkus dalam bungkusan manis. Kita sering salah kaprah dalam mengartikan cinta sebagai alat pengubah—menganggap bahwa semakin kita mencintai seseorang, semakin besar kuasa kita untuk mengubah mereka. Padahal, justru sebaliknya.
Cinta bukanlah kekuatan yang mengubah, melainkan ruang yang mempersilakan seseorang untuk menjadi dirinya sendiri.
Di situlah kekuatan cinta yang sesungguhnya—ia menciptakan kebebasan bagi seseorang untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan dirinya, bukan karena desakan dari luar. Di bangku panjang ini, tempat kita duduk bersama, mari kita renungkan kembali apa makna cinta bagi kita. Apakah cinta adalah tentang mengubah seseorang agar sesuai dengan bayangan kita? Ataukah cinta adalah tentang menerima seseorang apa adanya, tanpa perlu ada yang diubah?
Cinta yang sejati tidak membutuhkan perubahan sebagai bukti. Cinta sejati adalah kehadiran yang tenang, tanpa syarat, tanpa tuntutan.
Seperti bangku panjang yang menunggu cerita-cerita baru, mari kita belajar untuk mendengarkan kisah cinta tanpa terburu-buru untuk mengubah jalannya. Karena cinta adalah perjalanan, bukan tujuan. Cinta adalah proses yang membiarkan kita berjalan berdampingan, meski tanpa jaminan. Dan dalam penerimaan inilah, kita menemukan bahwa cinta itu sendiri adalah alasan untuk terus melangkah.
Kirimkan Karyamu
Apakah kamu memiliki kisah serupa atau refleksi pribadi yang ingin dibagikan? Kami di Apostrof.id membuka ruang untuk cerita-cerita yang penuh makna. Kirimkan tulisanmu ke apostrof.indonesia@gmail.com dengan subjek [Cerita di Bangku Panjang] - Judul Tulisanmu. Ketentuan Pengiriman:
  1. Panjang tulisan minimal 800 kata dan maksimal 1000 kata.
  2. Format file: .docx atau .pdf.
  3. Tulis pengantar singkat di badan email tentang ceritamu. Kami dengan senang hati akan membaca dan membagikan ceritamu di Bangku Panjang tempat kita bercengkerama dan bercerita lebih panjang.
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak