Puasa merupakan salah satu ibadah yang diwajibkan kepada umat Islam sebagai bentuk pengabdian kepada Allah SWT. Dalam Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, terdapat penggunaan istilah "siyam" dan "shoum" yang merujuk pada ibadah puasa. Dalam artikel ini, kita akan menggali makna dari kedua istilah tersebut dan betapa pentingnya menahan diri dalam pelaksanaan puasa. Dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, kita menemukan kata "siyam" digunakan untuk merujuk pada puasa. Meskipun kata "siyam" tidak secara eksplisit disebutkan dalam Al-Quran, penggunaan istilah ini dalam hadis-hadis merupakan bukti otoritasnya sebagai bagian dari ibadah yang diwajibkan. Hadis-hadis tersebut menjelaskan bahwa puasa melibatkan menahan diri dari makan, minum, dan perbuatan-perbuatan tertentu dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Namun, dalam Al-Quran, terdapat penggunaan istilah "shoum" dalam Surah Maryam (ayat 26): "Inni nadartu lirrohmani shouman. Fala tukkalllimal yaouma insiyya" yang dapat diterjemahkan sebagai, "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa bagi (Dzat) Yang Maha Pemurah, maka aku sekali-kali tidak akan berbicara pada hari ini dengan seorang manusiapun." Dalam konteks ini, "shoum" memiliki makna menahan diri dari bicara. Dalam kedua istilah ini, baik "siyam" maupun "shoum," terkandung makna menahan diri. Menahan diri bukan hanya dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat membatalkan puasa, seperti berdusta, berbuat kejahatan, berbuat dosa, atau mengeluarkan kata-kata yang buruk. Puasa bukan hanya mengenai menahan diri secara fisik, tetapi juga menahan diri secara spiritual dan mental. Dalam Surah Al-Baqarah (ayat 183) Al-Quran menjelaskan makna puasa secara lebih rinci: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." Ayat ini menekankan bahwa tujuan utama dari puasa adalah untuk mencapai takwa, yaitu kesadaran yang mendalam tentang keberadaan Allah dan menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran-Nya. Syarat Wajib dalam Melaksanakan Puasa dalam Agama Islam Puasa merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan kepada setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam tulisan ini, kita akan membahas syarat-syarat wajib dalam melaksanakan puasa sesuai dengan ajaran agama Islam. 1. Muslim Syarat pertama untuk melaksanakan puasa adalah menjadi seorang muslim. Puasa merupakan ibadah yang khusus ditujukan bagi umat Islam, dan kewajiban ini tidak berlaku bagi mereka yang belum memeluk agama Islam. Bagi orang yang masih berstatus sebagai non-Muslim, mereka tidak diwajibkan untuk berpuasa, namun mereka juga tidak akan mendapatkan pahala dan balasan dari ibadah puasa. 2. Baligh Syarat kedua adalah mencapai masa baligh atau pubertas. Pubertas ditandai oleh beberapa ciri fisik, seperti pada laki-laki ketika mengalami mimpi basah (ejakulasi) dan pada perempuan ketika mengalami menstruasi. Menurut penentuan ulama, batas usia pubertas adalah 15 tahun. Jika seseorang belum mencapai masa baligh, maka ia belum diwajibkan untuk berpuasa. Namun, anak-anak yang telah mencapai tingkat kecerdasan (mumayyiz) dan mampu berdiskusi dapat dianjurkan untuk berpuasa demi mendapatkan pahala. 3. Berakal Syarat ketiga adalah memiliki akal yang sehat. Puasa diwajibkan bagi mereka yang memiliki kemampuan berpikir dan memahami arti serta konsekuensi dari menjalankan ibadah puasa. Orang yang tidak memiliki akal yang sehat, seperti orang gila, tidak diwajibkan untuk berpuasa. 4. Sehat Syarat keempat adalah kesehatan yang memadai. Puasa dapat memberikan beban pada tubuh, oleh karena itu, seseorang harus dalam kondisi fisik yang memadai untuk menjalankan ibadah puasa tanpa membahayakan kesehatan mereka. Bagi orang yang sakit atau memiliki kondisi kesehatan tertentu yang dapat membahayakan tubuhnya jika berpuasa, mereka diberikan keringanan untuk tidak berpuasa. Namun, mereka diharapkan mengganti puasa yang ditinggalkan di lain waktu jika kondisi kesehatan mereka membaik. 5. Muqim (Bertempat Tinggal) Syarat kelima adalah bertempat tinggal (muqim). Orang yang memiliki tempat tinggal tetap dan tidak berstatus sebagai musafir diwajibkan untuk menjalankan puasa. Musafir, yaitu seseorang yang melakukan perjalanan dengan jarak yang ditentukan, diperbolehkan untuk tidak berpuasa selama mereka dalam keadaan bepergian. Namun, jika mereka memilih untuk berpuasa, itu juga diperbolehkan. 6. Suci dari Haid/Nifas Syarat keenam adalah bagi perempuan, mereka diharuskan untuk tidak menjalankan ibadah puasa selama masa haid atau nifas. Haid dan nifas adalah kondisi fisiologis alami bagi perempuan yang sedang dalam masa haid atau nifas diberikan keringanan untuk tidak menjalankan puasa, karena pada saat itu mereka tidak dalam keadaan suci. Selama masa haid atau nifas, perempuan dilarang melaksanakan ibadah seperti shalat dan puasa, karena keadaan tersebut merupakan bagian dari ketentuan Allah SWT. Syarat Syah dalam Melaksanakan Puasa Untuk memastikan bahwa puasa yang kita jalani sah dan berpahala, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat ini meliputi:
- Muslim: Puasa hanya sah dilakukan oleh umat Muslim. Bagi non-Muslim, puasa tidak berlaku dan tidak mendapatkan pahala.
- Berakal: Seseorang harus memiliki akal yang sehat untuk menjalankan puasa dengan benar. Orang yang tidak berakal, seperti orang gila, tidak diwajibkan untuk berpuasa.
- Suci dari haid/nifas: Bagi perempuan, mereka tidak diharuskan untuk berpuasa selama masa haid atau nifas. Setelah masa haid atau nifas selesai dan mereka telah mandi junub, perempuan diharapkan untuk kembali menjalankan ibadah puasa.
2. Puasa Sunnah: Puasa sunnah adalah puasa yang dianjurkan, tetapi tidak diwajibkan. Beberapa contoh puasa sunnah termasuk puasa pada hari Senin dan Kamis, puasa Arafah, puasa Asyura, dan puasa pada pertengahan bulan (puasa tengah bulan).
3. Puasa Makruh: Puasa makruh adalah puasa yang dianjurkan untuk dihindari atau tidak dilakukan, meskipun tidak diharamkan. Contoh puasa yang termasuk dalam kategori ini adalah puasa hanya pada hari Jumat saja atau puasa hanya pada hari Sabtu.
4. Puasa Haram: Puasa haram adalah puasa yang diharamkan dalam agama Islam. Contoh puasa yang termasuk dalam kategori ini adalah puasa pada Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul Adha (10 Dzulhijjah), dan hari-hari Tasyrik (11, 12, 13 Dzulhijjah).
-Ada puasa hukumnya haram tapi sah (puasanya istri yang tidak izin suami) Rukun-rukun Puasa Dalam menjalankan puasa, terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi. Berikut adalah rangkuman mengenai rukun-rukun puasa: 1. Niat: Niat merupakan salah satu rukun puasa yang wajib. Dalam puasa yang hukumnya wajib, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan terkait niat:
2. Puasa Wajib: Niat harus dimalamkan (tabyit), yaitu niat dilakukan pada malam sebelumnya. Niat juga harus tegas (tayin) dan diulang (tikrar). Tanpa niat yang dimalamkan, puasa tidak sah.
3. Puasa Sunnah: Tidak ada keharusan untuk menyalurkan niat pada malam sebelumnya (tabyit), dan tidak ada ketegasan (tayin) dalam niat. Namun, tetap ada keharusan untuk mengulangi niat (tikrar).
4. Imsak: Imsak adalah menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Hal ini termasuk menahan diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa selama periode waktu dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Mengenai Hal-hal yang Membatalkan, Disunnahkan, dan Status Mubah dalam Puasa Dalam menjalankan puasa, terdapat beberapa hal yang penting untuk diketahui. Berikut adalah rangkuman mengenai hal-hal yang membatalkan, disunnahkan, dan status mubah dalam puasa: Yang Membatalkan Puasa: 1. Masuknya benda ke dalam rongga tubuh melalui celah yang terbuka, seperti makanan, minuman, asap rokok, dan sejenisnya. Namun, tetesan obat mata tidak membatalkan puasa. Infus yang berupa nutrisi akan membatalkan puasa.
2. Sengaja muntah.
3. Sengaja melakukan hubungan intim.
4. Sengaja ejakulasi atau keluarnya mani
5. Kehilangan akal atau gila.
6. Keluarnya darah haid.
7. Keluarnya darah nifas setelah melahirkan.
8. Proses melahirkan.
9. Murtad, yaitu meninggalkan agama Islam.
Yang Disunnahkan dalam Puasa:
1. Mengakhirkan sahur hingga menjelang waktu imsak. 2. Menyegerakan berbuka ketika waktu maghrib tiba.
3. Berbuka dengan kurma dan air.
4. Menjaga lisan dari perkataan yang buruk dan berdusta.
5. Menjaga diri dari nafsu dan godaan yang membatalkan puasa.
6. Menghindari melakukan bekam (pengobatan tradisional dengan cara mengeluarkan darah).
Status Mubah: 1. Menelan ludah sendiri yang masih berada di dalam mulut.
Selain itu, terdapat informasi tambahan sebagai berikut: Di zaman Nabi, terdapat dua muadzin, yaitu Bilal dan Abdullah bin Ummi Maktum. Bilal melakukan adzan pertama pada pukul 3 pagi untuk membangunkan orang-orang, sedangkan Abdullah bin Ummi Maktum bertanggung jawab untuk adzan subuh. Terdapat hadis yang menyebutkan pentingnya untuk makan jika ada hidangan yang disajikan, namun konteksnya bukan berada dalam bulan puasa. Jika seseorang sedang makan atau minum ketika terdengar adzan subuh, dan mereka memilih untuk melanjutkan makan dan minum, maka puasa mereka akan batal. Zakat dan Fiqih Dasarnya Zakat adalah ibadah yang melibatkan pengeluaran harta tertentu sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Berikut adalah rangkuman mengenai zakat dan fikih dasarnya: 1. Syarat Wajib Zakat: a. Muslim. b. Merdeka. c. Nisab: Untuk zakat emas, nisabnya adalah 85 gram. Jika jumlah emas mencapai nisab pada 1 Muharram, maka zakatnya dihitung mulai dari 1 Safar dan wajib dikeluarkan sebesar 2,5% dari jumlah tersebut. Jika jumlah emas berkurang di antara dua tahun tersebut, maka penghitungan zakatnya direset. d. Haul: Kecuali pada harta yang keluar dari bumi, hewan ternak, dan keuntungan dagang. e. Saum: Terdapat hewan ternak yang dimiliki. 2. Harta yang Wajib Dizakati: a. Emas dan perak. b. Hasil bumi seperti pertanian, pertambangan, dan rikaz/harta karun. c. Hewan ternak. d. Barang dagangan. 3. Zakat pada Emas dan Perak: a. Haul. b. Nisab emas: 85 gram (20 dinar), perak: 595 gram (200 dirham). c. Bukan perhiasan yang digunakan secara halal. d. Kadar zakat yang dikeluarkan adalah 2,5% dari jumlahnya. 4. Zakat pada Hewan Ternak: a. Hewan tidak dipergunakan untuk bekerja. b. Nisab: Unta minimum 5 ekor, sapi minimum 50 ekor, kambing minimum 40 ekor. c. Haul. 5. Zakat pada Harta yang Keluar dari Bumi: a. Buah-buahan seperti kurma dan anggur. b. Pertanian: Biji-bijian dengan nisab 500 sha' (sekitar 611 kg) dan kadar zakat sebesar 5% untuk biaya pengairan atau 10% untuk tadah hujan. c. Hasil tambang: Nisab emas 85 gram dan kadar zakat 2,5% (tidak ada haul). d. Rikaz: Nisab emas 85 gram dan kadar zakat 20%, dengan syarat ditemukan di tanah yang tidak memiliki pemilik. 6. Zakat pada Barang Dagangan: Syarat-syaratnya meliputi diantara lain: niat untuk berdagang, bukan berasal dari warisan, dimiliki secara muawwadah (dalam bentuk pengadaan barang), dan nisab di akhir haul. Dalam kaitannya dengan zakat, terdapat beberapa situasi khusus yang perlu dipertimbangkan. Jika seseorang tidak mampu melaksanakan puasa, baik karena sakit atau alasan lain, maka mereka diwajibkan mengqadha (mengganti) puasa tersebut pada waktu lain. Ini berlaku untuk diri sendiri dan juga bagi mereka yang memiliki tanggungan bayi. Dalam kasus bayi yang belum mampu berpuasa, qadha puasa tidak diperlukan. Namun, dalam hal ini, ada tambahan kewajiban memberikan fidyah. Fidyah merupakan penggantian ibadah puasa dengan memberikan makanan kepada yang membutuhkan. Satu mud (sekitar setangkup tangan dewasa laki-laki) digunakan sebagai satuan dalam mengukur fidyah. Perbedaan dalam satuan ini disebabkan oleh kurangnya penggunaan satuan kilogram dan lainnya pada zaman dahulu. Oleh karena itu, jika ada perbedaan dalam ukuran satuan saat ini, maka perbedaan tersebut harus diterima. Zakat Fitrah, yang dikeluarkan menjelang Idul Fitri, dihitung berdasarkan satuan yang berbeda. Satu sha' (sekitar tiga liter) digunakan untuk mengukur zakat fitrah. Jika seseorang memilih untuk menguangkan zakat fitrah, perhitungannya mengikuti Mazhab Hanafi. Secara kasar, 1 fidyah dapat setara dengan sekitar 45.000 rupiah, namun penting untuk merujuk pada fatwa resmi dari ulama yang terpercaya. Dengan memahami ketentuan ini, kita dapat melaksanakan zakat dengan benar sesuai dengan situasi yang diperlukan. Zakat adalah salah satu bentuk ibadah yang mencerminkan kepedulian sosial dan membantu meringankan beban mereka yang membutuhkan di tengah-tengah umat Muslim.