Sumber Aqidah
Aqidah dalam agama Islam merupakan dasar keyakinan yang tidak menerima spekulasi teologis maupun filosofis. Hal ini dapat dilihat dari penolakan aqidah terhadap anggapan beberapa kelompok yang menyatakan bahwa Nabi Ibrahim pernah menjadi seorang atheist.
Keyakinan dan pengenalan terhadap Tuhan dalam aqidah Islam didapatkan dari penjelasan yang diterima melalui wahyu, bukan dari perenungan filosofis. Oleh karena itu, dalam aqidah Islam, keyakinan terhadap Tuhan merupakan fondasi dari seluruh ajaran yang harus dipegang teguh dan diyakini dengan sepenuh hati.
Ushul dan Furu'
Ada beberapa Kelomopok Ulama yang mengakui adanya pembagian aqidah menjadi dua kategori, yaitu Ushul dan Furu'.
- Ushul adalah dasar-dasar keyakinan yang wajib diketahui dan diterima oleh setiap Muslim. Ini termasuk keyakinan pada Allah, malaikat, kitab-Nya, rasul-Nya, hari kiamat, dan takdir (takdir baik dan buruk).
- Furu' adalah cabang-cabang dari aqidah yang lebih spesifik dan terperinci. Ini meliputi keyakinan tentang bagaimana cara kita melihat Allah di surga, kapan terjadinya isra mi’raj, dan lain sebagainya.
Dalam Islam, penting untuk memahami dan memelihara aqidah karena ini mempengaruhi bagaimana seseorang melihat dunia dan memahami kebenaran. Sebagaimana Ahlul kiblat adalah mereka yang sepakat dalam pokok-pokok keimanan, meskipun mungkin ada perbedaan dalam hal fiqih.
Ilmu Kalam
Ilmu kalam adalah pembahasan aqidah secara filosofis. Ranting-ranting dalam aqidah mungkin berbeda dalam mazhab, tetapi hal ini tidak mengurangi kesatuan dalam dasar-dasar pokok keimanan. Maqola fiil islamiyan wal mukhtaifin musholliyin adalah pembahasan secara rinci tentang perbedaan-perbedaan dalam cabang-cabang aqidah.
Peran Aqidah dalam Kehidupan Seorang Muslim
Aqidah memegang peran penting dalam kehidupan seorang Muslim dan harus dipahami dan dijunjung tinggi dengan baik. Ilmu aqidah harus dikaji dengan seksama dan selalu dipelihara agar selalu sesuai dengan ajaran Islam. Pengetahuan aqidah harus didasarkan pada aqidah yang benar dan tidak boleh menyimpang dari ajaran Islam. Seorang Muslim harus memahami ilmunya dengan berdasar pada aqidah dan menjadikan aqidah sebagai world view. Ahlu kiblat adalah istilah yang menggambarkan kelompok umat Islam yang sepakat dalam pokok-pokok keimanan meskipun terdapat perbedaan dalam fiqih.
Konsekuensi Epistemologi Aqidah
Ilmu aqidah memiliki konsekuensi epistemologi (Dalam konteks Islam, konsekuensi epistemologi berarti implikasi logis dari keyakinan bahwa sumber pengetahuan utama adalah wahyu Allah, yaitu Al-Qur'an dan hadis Nabi) yang harus diterima dan dipahami oleh setiap muslim. Seorang muslim dalam mengkaji ilmunya harus berdasar pada aqidah. Ia harus menjadikan aqidah sebagai world view yang mengarahkan pemahaman dan tindakannya. Kita tidak menerima penisbian nilai dan memandang bahwa nilai hanya berdasar penilaian-Nya. Kita tidak menerima relativisme kebenaran dan memegang teguh pada keyakinan bahwa kebenaran hanya ada satu dan ditentukan oleh Allah.
Beberapa Istilah Terkait Aqidah
Aqidah adalah aspek pokok dalam keimanan Islam yang memuat keyakinan dan pandangan tentang Tuhan, malaikat, kitab-Nya, rasul-Nya, hari kiamat, dan lain-lain. Dalam Islam, aqidah memiliki peran penting bagi setiap muslim dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ahlu kiblat adalah istilah yang menggambarkan kelompok umat Islam yang sepakat dalam pokok-pokok keimanan meskipun terdapat perbedaan dalam fiqih. Mereka sepakat bahwa Allah itu esa dan Dia berhak disembah serta Maha Kuasa dan lain-lain.
Furu' aqidah adalah cabang-cabang pengetahuan yang membahas aqidah. Ilmu kalam adalah salah satu dari cabang-cabang ini yang membahas aqidah secara filosofis. Sementara itu, ranting dalam mazhab dapat berbeda, namun tetap sejalan dengan pokok-pokok aqidah.
Maqola fiil islamiyan wal mukhtaifin musholliyin adalah istilah yang menguraikan secara detail perbedaan pada cabang-cabang aqidah. Ilmu aqidah juga memiliki konsekuensi epistemologi yang harus diterima dan dipahami oleh setiap muslim.
Kewajiban Mukallaf
Setiap orang yang mengaku sebagai Mukallaf, atau yang sudah cukup memahami dan bertanggung jawab dalam agama, memiliki tanggung jawab untuk mengenal dirinya dalam pandangan syara'. Ini berarti Mukallaf perlu memahami bagaimana Allah menilai dirinya sebagai hamba-Nya. Hanya membaca dan mengumpulkan banyak kitab saja tidak cukup. Seperti keledai yang membawa banyak beban tanpa memahami isinya, hal yang sama berlaku bagi Mukallaf. Mukallaf harus memahami dan mengamalkan ilmu yang dipelajari, bukan sekadar mengumpulkan banyak ilmu.
Untuk membantu Mukallaf dalam memahami diri mereka sendiri, Allah menurunkan rasul dan nabi-Nya serta mewahyukan kitab-kitab terkait dengan Tauhidullah. Semua nabi dan rasul memiliki misi yang sama, yaitu menyampaikan ajaran ketauhidan kepada umat manusia. Dalam hal ini, Mukallaf harus memahami dan mempraktikkan ajaran-ajaran tersebut.
Sebab, iman tidak hanya dibangun dengan membaca dan memahami kitab-kitab, tetapi juga berdasar pada dalil-dalil yang sah. Mukallaf harus memahami dalil-dalil tersebut dengan akal yang sehat dan tidak terpengaruh oleh nafsu atau kepentingan pribadi. Dengan memahami dan mempraktikkan ilmu dan ajaran yang diterima, Mukallaf akan memiliki pemahaman yang jelas dan benar tentang diri mereka sendiri sebagai hamba Allah. Ini adalah salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap Mukallaf.
Bijak Bermedia Sosial
Dalam era modern saat ini, sosial media memegang peran penting dalam berbagi informasi dan berinteraksi satu sama lain. Namun, sayangnya banyak orang yang tidak memperlakukan platform ini dengan baik. Mereka membahas hal-hal yang sangat mendalam dengan cara yang remeh dan tidak serius. Ini sangat berbahaya bagi kualitas pemahaman kita tentang hal-hal yang penting. Kita perlu berdiskusi dan memperlakukan hal-hal tersebut dengan serius dan tulus, dan tidak hanya membicarakannya secara asal-asalan.
Penting untuk diingat bahwa sosial media bisa dibaca oleh siapa saja, dan kita tidak tahu siapa yang bicara. Ini membuat sosial media menjadi tempat yang sangat rentan untuk fitnah dan pemahaman yang salah. Oleh karena itu, kita harus memperlakukan sosial media dengan tanggung jawab dan memastikan bahwa informasi yang kita bagikan adalah benar dan berkualitas. Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, kita dapat memanfaatkan sosial media dengan lebih baik dan membuatnya menjadi tempat yang bermanfaat bagi kita semua.
Apakah Allah Perlu Arah dan Ruang?
Dalam agama Islam, Allah dikenal sebagai Khaliq, yaitu Pencipta segala sesuatu. Ia adalah Pencipta arah, ruang, dan orientasi. Allah menciptakan alam semesta dan segala isinya. Namun, pertanyaan yang sering muncul adalah apakah Allah membutuhkan atau memiliki kebutuhan pada arah, ruang, dan orientasi yang Ia ciptakan?
Menurut ajaran Islam, Allah tidak memiliki hajat atau kebutuhan. Ia adalah Zat yang Maha Esa dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Allah tidak membutuhkan ruang atau arah karena Ia tidak memiliki bentuk atau ruang. Ia adalah Zat yang tidak dapat ditempatkan atau dibatasi oleh ruang dan waktu.
Dalam Al-Qur'an, Allah juga dikenal sebagai Malikal Mulk, yaitu Raja dari segala kerajaan. Ini berarti bahwa Allah memiliki kuasa atas segala sesuatu, termasuk ruang dan arah. Dalam ayat lain, disebutkan bahwa segala kerajaan hanya milik Allah dan tidak ada yang dapat memilikinya selain-Nya.
Secara keseluruhan, konsep Allah sebagai Pencipta dan Raja dalam ajaran Islam memperlihatkan keagungan dan kebesaran-Nya. Ia tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan memiliki kuasa atas segala sesuatu yang Ia ciptakan. Oleh karena itu, segala pujian dan pemujaan harus ditujukan kepada-Nya saja.
Perbedaan Pandangan Golongan Hasyawiyah dan Jumhur Muslimin
Pembahasan mengenai golongan Hasyawiyah (aliran yang berpegangan dengan dhahir (bentuk luar)-nya teks, walaupun itu bertentangan dengan akal) dan Jumhur Muslimin memiliki perbedaan dalam pandangan mengenai sumber pengetahuan tentang Allah. Golongan Hasyawiyah berpendapat bahwa tidak perlu memahami Allah melalui penalaran, cukup meyakini teks-teks agama. Namun, meskipun golongan ini sudah tidak ada lagi sebagai entitas, cara berpikir seperti ini masih ada. Sementara itu, Jumhur Muslimin berpendapat bahwa sumber pengetahuan tentang Allah adalah akal dan dalil. Ini menunjukkan bahwa kedua golongan memiliki perbedaan yang mendasar dalam pandangan mereka tentang bagaimana mengetahui tentang Allah.
Dalil Itiqad Dalam Memahami Aqidah
Dalam memahami ilmu aqidah, ada beberapa poin yang harus dicermati dan dipahami. Salah satunya adalah tentang indikasi dalil yang menjadi dasar untuk memahami aqidah. Dalil itiqad adalah sumber dasar bagi pemahaman tentang aqidah. Dalil ini terdapat dalam dua ayat dalam Al-Qur'an, yaitu ayat 11 dari surat Al-Syu'ara dan surat Al-Ikhlas.
Ayat 11 dari surat Al-Syu'ara menyatakan bahwa Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. Dalam ayat ini, juga diterangkan bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Oleh karena itu, Allah harus diyakini sebagai Tuhan yang memiliki kekuasaan atas semesta alam.
Surat Al-Ikhlas merupakan salah satu surat pendek dalam Al-Qur'an yang menjelaskan tentang esensi dan sifat Allah. Dalam surat ini, disebutkan bahwa Allah adalah Esa dan tidak ada Tuhan selain-Nya. Dengan demikian, surat ini menegaskan bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa dan tidak ada yang setara dengan-Nya.
Dengan mengetahui dalil itiqad ini, kita sebagai mukallaf harus memahami dan meyakini bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Esa dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Oleh karena itu, indikasi dalil itiqad ini harus menjadi dasar bagi kita dalam memahami aqidah dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan aqidah.
Metode Mengafirmasi Kewujudan Tuhan
Dalam mengafirmasi kewujudan atau adanya Tuhan, terdapat dua pandangan utama, yaitu pandangan yang diambil dari filosofi Yunani dan pandangan teleologis.
- Pandangan Yunani mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada dibuat dan alam semesta dibuat. Oleh karena itu, adanya alam semesta harus dibayangkan.
- Pandangan teleologis berpendapat bahwa ada tujuan (telos) dan pengetahuan (logis) dalam pemikiran ini. Setiap sesuatu yang ada memiliki sebab. Sebab ini disebut Tasalsul, yaitu rangkaian yang tidak ada habisnya. Segala sesuatu yang ada dibuat dan diadakan.
Pandangan teleologis berpendapat bahwa ada tujuan (telos) dan pengetahuan (logis) dalam pemikiran ini. Setiap sesuatu yang ada memiliki sebab. Sebab ini disebut Tasalsul, yaitu rangkaian yang tidak ada habisnya. Segala sesuatu yang ada dibuat dan diadakan.
Kaum-kaum Dalam Islam dan Cara Mereka Mengafirmasi Kewujudan Tuhan
Islam adalah agama yang memiliki beragam aliran dan pandangan dalam memahami Tuhan. Terdapat tiga kaum yang menonjol dalam memahami dan mengafirmasi kewujudan Tuhan, yaitu Kaum Sufi, Kaum Ismailiyyah Syiah, dan Mutakallimun.
- Kaum Sufi memahami bahwa untuk mengafirmasi kewujudan Tuhan, seseorang harus membersihkan batin mereka. Mereka menganggap batin seperti alam semesta, yaitu mikrokosmos. Maka, seseorang harus menjadi cerminan dari segala sesuatu dan memahami hakikat sejati melalui tindakan-tindakan positif.
- Sementara itu, Kaum Ismailiyyah Syiah sudah tidak ada, namun pandangan mereka masih dipelajari. Mereka percaya bahwa satu-satunya jalan menuju Allah adalah melalui para imam.
- Kaum Mutakallimun memahami Tuhan melalui nazhar dan istidlall, yaitu melalui penalaran dan argumentasi. Sebagaimana budaya skolastik, yang berasal dari budaya kristen abad pertengahan, memperbincangkan Tuhan melalui diskusi dan dialog antar pemikir.
Qadhar, Mentadbir Makhluq, dan Ilmu Allah
Pemahaman tentang qadhar, mentadbir makhluq, dan ilmu Allah sangat penting bagi keimanan seseorang dalam agama Islam. Qadhar adalah takdir, yang merupakan bagian dari rancangan Allah dalam mengatur segala sesuatu. Baik buruknya takdir sangat berkaitan dengan baik buruknya makhluk. Keburukan dalam takdir tidak bisa diterima sebagai keburukan dari Allah, karena Allah Maha Adil dan Maha Baik.
Takdir dalam Islam dikenal dengan istilah Qodar (Kadar), yang berarti bahwa komposisi segala sesuatu sudah diatur oleh Allah. Dalam Islam, segala sesuatu sudah ditentukan dan dipersiapkan oleh Allah, dan manusia tidak bisa merubah takdir itu. Namun, manusia masih memiliki bebas pilih untuk melakukan apa yang benar dan baik, sehingga mereka bisa memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Salah satu aspek penting adalah kausalitas, yaitu bahwa setiap tindakan manusia akan memiliki akibat yang sesuai. Misalnya, jika seseorang membantu orang lain, maka ia akan ditolong balik oleh orang lain pada suatu saat nanti. Ini menunjukkan bahwa manusia bertanggung jawab atas tindakan mereka dan harus mempertimbangkan akibat dari setiap tindakan yang mereka lakukan.
Metode Tafsir
Metode Tafsir adalah metode untuk memahami dan menafsirkan teks-teks al-Qur'an yang diterima sebagai wahyu Allah. Terdapat 3 metode utama dalam metode tafsir, yaitu:
- Itsbat: Berfokus pada penafsiran teks al-Qur'an secara literaris dan menggunakan pendekatan gramatikal dan semantik. Tujuannya adalah untuk mengetahui apa yang sebenarnya dikatakan oleh teks tersebut dalam konteks tertentu. Metode ini dipercayai oleh kelompok mujassimah (Wahabi/Syiah).
- Tafwidh: Berfokus pada meninggalkan makna teks al-Qur'an tanpa memberikan tafsiran tertentu. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa makna al-Qur'an tidak dapat dibatasi oleh manusia dan harus ditinggalkan kepada Allah.
- Ta'wil: Berfokus pada memahami makna yang tersembunyi di balik teks al-Qur'an. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa al-Qur'an memiliki makna yang lebih dalam dan spiritual yang hanya dapat dipahami melalui interpretasi dan penafsiran spiritual.
Metode ini digunakan oleh kelompok Asy'ariyah yang merupakan sebuah madzhab (aliran) dalam teologi Islam yang didirikan oleh Imam Al-Ash'ari. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits dengan cara takwil (interpretasi). Mereka menganggap bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang sifat-sifat Allah tidak boleh dimaknai secara serta merta, melainkan harus diterjemahkan ulang sesuai dengan makna yang sebenarnya.
Selain itu, metode ini dipercayai oleh kelompok Maturidiyah. Mereka memahami bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang sifat-sifat Allah harus diterjemahkan ulang sehingga memiliki makna yang sesuai dengan hakikat Allah.
Sementara itu, Ahlul Hadits adalah sebutan bagi mereka yang menekankan pada penafsiran ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits dengan cara istihsan (memilih) dan istishab (menetapkan). Mereka memahami bahwa ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits harus diambil dan diterapkan sesuai dengan makna asli dan tidak perlu diterjemahkan ulang. Mereka mengutamakan tradisi Nabi Muhammad dan para sahabat dalam memahami Al-Qur'an dan hadits.
Pemateri : Ust. Muhammad Fadhila Azka, M.Ag.
Pelaksanaan : Ahad, 29 Januari 2023
Pencatat : Isma'ul Ahmad