Pondasi Islam


Pemateri        : Dr. Abbas Mansur Tamam (Ketua program Magister Pendidikan Agama Islam, UIKA Bogor)
Kegiatan : Studi Islam Intensif YISC AL-Azhar
Pelaksanaan : Ahad, 05 Februari 2023
Pencatat : Isma'ul Ahmad


Menegakkan Pondasi Agama dalam Menghadapi Teori Evolusi dan Ateisme

Pondasi yang kokoh dan tegak merupakan hal yang sangat penting dalam membangun sebuah bangunan, termasuk bangunan agama. Kegagalan dalam membangun pondasi yang tepat dapat menyebabkan bangunan menjadi tidak stabil dan mudah roboh. Begitu pula dengan agama, jika dasar yang kuat dalam beragama tidak dibangun dengan baik, maka agama pun dapat roboh dan tak lagi dijalankan dengan benar.

Sebagai umat beragama, kita percaya bahwa alam semesta dan seisinya diciptakan oleh Tuhan. Allah adalah Sang Pencipta yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Dia menciptakan segala sesuatu dengan sempurna dan tanpa cacat. Allah adalah Rabb yang mengurus dan memelihara seluruh ciptaan-Nya.

Namun, dalam era modern ini, banyak muncul teori-teori yang mencoba untuk menyalahkan penciptaan alam semesta dan keberadaan manusia hanya pada proses kebetulan semata. Salah satu teori tersebut adalah teori Darwin yang meyakini bahwa keberadaan manusia hanyalah hasil dari proses evolusi yang tidak direncanakan.

Namun, bagi kita yang beriman, teori Darwin tersebut tidak bisa menggoyahkan keyakinan kita bahwa segala sesuatu, termasuk keberadaan manusia, diciptakan oleh Tuhan. Selain itu, banyak pengalaman hidup yang menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan dan kepercayaan pada-Nya dapat membawa kebahagiaan dan kedamaian yang sejati dalam hidup.

Kita juga sering dihadapkan dengan perdebatan antara orang beriman dan ateis. Beberapa ateis bahkan mempertanyakan keberadaan Tuhan dan mencoba untuk meyakinkan orang lain bahwa Tuhan tidak ada. Namun, dalam dialog tersebut, seringkali ateis tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan dan bahkan akhirnya menerima bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan.

Hal ini dapat dilihat dari sebuah cerita yang disampaikan oleh Al-Ustadz Dr. Abbas Mansur Tamam. Ustadz Abbas Mansur pernah berdebat dengan seorang ateis. Beliau memulakan perbincangan. "Ada menara Eiffel, Pisa, dan Piramida Giza di Mesir. Bangunan-bangunan itu dibangun tanpa arsitektur, hanya dari besi yang berserakan. Menurutmu itu waras atau gila?"

"Orang gila! Bagaimana mungkin bangunan dibangun tanpa arsitektur? Itu tidak mungkin."

Ustadz Abbas tersenyum, "Tapi, sekarang saya ingin bertanya, mana yang lebih besar, tiga menara itu atau alam semesta?"

"Tentu saja, alam semesta jauh lebih besar dari tiga menara itu."

"Benar. Lalu, apakah menurutmu alam semesta tercipta begitu saja tanpa ada pencipta?" tanya Ustadz Abbas.

ateis itu terdiam, kemudian bertanya "Siapa pencipta Allah?"

"Pertanyaanmu salah. Karena pertanyaan yang salah, tidak ada jawabannya. Pertanyaanmu sama dengan mana yang duluan, ayam atau telur. Allah adalah Maha Besar, maka tidak ada yang bisa menandingi kebesarannya. Oleh karena itu, Tuhan tidak diciptakan," jawab Ustadz Abbas.

Pentingnya Pondasi Agama dalam Islam

Manusia adalah makhluk yang sangat kecil dan lemah jika dibandingkan dengan alam semesta yang sangat luas dan kompleks. Saat ini, jumlah penduduk dunia mencapai sekitar 8 miliar orang, dan bahkan itu hanya sebanding dengan sepersejuta dari jumlah bintang di alam semesta. Ada sekitar 200 miliar sistem tata surya yang terdapat dalam alam semesta. Mengingat begitu kompleksnya sistem tata surya ini, sulit untuk membayangkan bagaimana mungkin semua ini terjadi hanya karena kebetulan semata.

Dalam konteks ini, penting untuk membicarakan pondasi agama, yaitu iman, Islam, dan Ihsan. Rasulullah pernah dihadapkan pada pertanyaan tentang pondasi agama oleh Malaikat Jibril. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pondasi agama dalam kehidupan manusia.

Agama memiliki tiga rukun, yaitu rukun Islam, rukun Iman, dan Ihsan. Ambruknya agama dapat terjadi ketika salah satu dari rukun Islam tidak dipercayai. Rukun Islam terdiri dari syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Orang yang tidak melaksanakan puasa namun tetap meyakini puasa sebagai wajib, disebut fasiq bukan kufur.

Rukun Iman meliputi kepercayaan kepada Allah, malaikat, kitab suci, rasul, hari akhir, qodho dan qodar. Orang yang menolak salah satu dari enam hal tersebut disebut kufur.

Selain itu, ada juga Ihsan, yaitu kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah. Ihsan dapat diartikan sebagai menyembah Allah seolah-olah kita melihat-Nya, meski sebenarnya kita tidak dapat melihat-Nya. Ihsan menuntut manusia untuk melakukan ibadah dengan sepenuh hati dan memahami bahwa Allah selalu mengawasi dan mengontrol segala sesuatu yang terjadi dalam hidup kita.

Namun, tidak semua orang memiliki tingkat penghayatan yang sama dalam menjalankan agamanya. Setiap orang memiliki jalan yang berbeda dalam menghadapi kehidupan dan beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menghormati perbedaan dan memberikan dukungan serta motivasi pada sesama umat manusia dalam menjalankan agama mereka dengan baik.

Elemen Ajaran Islam

Islam adalah agama yang memiliki ajaran yang sangat lengkap dan menyeluruh. Terdapat empat elemen ajaran Islam yang menjadi pondasi bagi setiap orang muslim dalam menjalankan kehidupannya. Keempat elemen tersebut adalah

  1. Iman/aqidah,
  2. Islam/syariat,
  3. Ihsan/akhlaq, dan
  4. Ilmu.

Pertama-tama, iman atau aqidah menjadi elemen pertama dalam ajaran Islam. Iman ini mencakup keyakinan terhadap Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berdaulat, keyakinan terhadap kitab suci Al-Qur'an sebagai pedoman hidup, keyakinan terhadap para nabi dan rasul sebagai utusan Allah SWT, keyakinan terhadap malaikat sebagai makhluk Allah SWT, keyakinan terhadap hari akhir sebagai akhir dari segala kehidupan, serta keyakinan terhadap qada dan qadar sebagai takdir Allah SWT.

Elemen kedua adalah Islam atau syariat, yang terdiri dari peraturan-peraturan atau aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh setiap orang muslim dalam kehidupannya sehari-hari. Hal ini mencakup berbagai macam peraturan seperti sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, zakat atau sedekah, haji ke Makkah, dan lain sebagainya.

Ketiga, ihsan atau akhlaq menjadi elemen penting yang membentuk karakter seorang muslim. Ihsan mengajarkan umat muslim untuk memiliki akhlak yang baik dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan makhluk Allah SWT lainnya. Akhlak yang baik ini dapat diperlihatkan dalam berbagai hal, seperti sikap santun, kejujuran, keramahan, kepedulian terhadap sesama, dan lain-lain.

Terakhir, elemen keempat adalah ilmu. Ilmu merupakan bagian penting dalam ajaran Islam karena dengan ilmu, seorang muslim dapat memperdalam pengetahuan dan pemahaman tentang ajaran Islam secara lebih utuh dan komprehensif. Melalui ilmu, seorang muslim dapat memahami berbagai macam persoalan dalam kehidupannya dan memperoleh solusi yang sesuai dengan ajaran Islam.

Tanda-tanda Kiamat

Salah satu topik penting yang sering dibahas dalam ajaran Islam adalah hari kiamat, yaitu saat kebangkitan dan penghakiman terakhir. Sebagai umat Islam, kita diwajibkan untuk mempelajari dan memahami konsep ini sebagai bagian dari keyakinan kita. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, muncul tantangan dari liberalisme yang mencoba mereduksi pentingnya ajaran agama termasuk mengenai hari kiamat.

Salah satu pertanyaan umum yang sering diajukan tentang hari kiamat adalah kapan terjadinya. Namun, Rasulullah sendiri tidak memberikan jawaban pasti tentang hal ini. Sebab, tidak ada sumber pengetahuan yang menyebutkan kapan terjadinya hari kiamat. Allah menyimpannya sebagai rahasia-Nya yang hanya diketahui oleh-Nya.

Meskipun tidak memberikan jawaban pasti tentang kapan terjadinya, Rasulullah memberikan penjelasan mengenai tanda-tanda hari kiamat yang perlu diperhatikan. Salah satu tanda tersebut adalah "seorang budak melahirkan anak tuannya". Tanda ini bisa bermakna hakiki, yaitu kejadian langka yang jarang terjadi, atau bisa juga bermakna majasi, yaitu metafora yang menggambarkan suatu kejadian yang luar biasa.

Tanda lainnya yang disebutkan oleh Rasulullah adalah "orang telanjang". Tanda ini mencakup beberapa aspek seperti orang yang tidak beralas kaki, penggembala kambing menjadi kaya, dan berlomba-lomba membangun bangunan tinggi. Meskipun terlihat sederhana, tanda-tanda ini sebenarnya memiliki makna mendalam dan perlu dipelajari dengan seksama.

Belajar Agama dengan Tetap Berada pada Bingkai Keilmuan Para Ulama


salah dalam memahami agama dapat membentuk sikap yang salah, karena bingkai keilmuan yang digunakan dalam memahami agama tidak selalu sama dengan bingkai yang diajarkan oleh ulama. Hal ini dapat terjadi karena banyak faktor, seperti adanya perbedaan budaya, konteks sosial, dan lingkungan yang mempengaruhi interpretasi terhadap ajaran agama.

Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kecenderungan untuk bersikap ekstrem dalam memahami agama bisa menafsirkan ajaran agama secara sempit dan mempersempit pandangannya. Sehingga, ia cenderung memahami ajaran agama hanya dalam kacamata yang sempit dan hanya berfokus pada satu sisi saja, tanpa melihat konteks yang lebih luas dan utuh.

Oleh karena itu, penting untuk memiliki pemahaman agama yang benar, yang didasarkan pada bingkai keilmuan yang seimbang dan proporsional. Dengan memiliki pemahaman agama yang benar, maka akan terhindar dari kesalahan dalam memahami agama dan membentuk sikap yang salah. Sehingga, dalam menjalankan ajaran agama, seseorang akan lebih bijak dan arif dalam menafsirkan ajaran agama dan menerapkan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.

Iman, Islam, dan Ihsan

Agama Islam merupakan agama yang mengajarkan tiga elemen penting, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Iman adalah keyakinan yang mutlak dalam seluruh rukun iman. Sebagai umat Muslim, kita diwajibkan untuk meyakini seluruh rukun iman agar keyakinan kita terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya semakin kuat.

Selain itu, agama Islam juga mengajarkan tentang jumlah nabi dan rasul. Menurut sejarah Islam, terdapat 124000 nabi yang dikirimkan Allah SWT untuk memberikan petunjuk kepada manusia. Dari jumlah tersebut, terdapat 315 rasul yang diutus dengan tugas yang lebih berat yaitu untuk memberikan risalah atau kitab suci. Adapun nabi yang wajib diketahui berjumlah 25, yang mana di antaranya adalah Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Nabi Muhammad SAW.

Islam sendiri memiliki arti ketundukan pada hukum-hukum Allah SWT. Sebagai seorang Muslim, kita diwajibkan untuk menjalankan semua perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Islam juga mengajarkan tentang pentingnya ihsan dalam kehidupan. Ihsan memiliki arti melakukan perbuatan baik yang semestinya dilakukan. Terdapat dua bentuk ihsan, yaitu memberikan kebaikan kepada orang lain dan melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.

Tingkatan tertinggi dari ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dalam arti lain, ketika kita beribadah, kita harus memiliki kesadaran dan keikhlasan yang tinggi sehingga kita merasa dekat dengan Allah SWT. Selain itu, ihsan juga terkait dengan niat dan perbuatan. Ihsan dalam niat adalah membersihkan selain Allah dari dalam hati, sementara ihsan dalam perbuatan adalah melakukan hal yang seharusnya dilakukan dengan baik dan adil, seperti memberikan nafkah kepada keluarga dan menunaikan kewajiban lainnya.

Ihsan, Adil, dan Dzalim

Ihsan merupakan konsep dalam Islam yang mengajarkan manusia untuk melakukan perbuatan baik dengan kesadaran penuh, baik dalam niat maupun perbuatan. Konsep ihsan tidak hanya berlaku dalam hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga dalam hubungan manusia dengan sesama.

Dalam konteks niat, ihsan dapat diartikan sebagai membersihkan hati dari niat-niat yang tidak benar, seperti keserakahan atau rasa iri hati. Niat yang murni dan ikhlas akan membawa pada perbuatan yang baik dan berpahala di hadapan Allah.

Sedangkan dalam konteks perbuatan, ihsan mengajarkan manusia untuk melakukan perbuatan sebaik-baiknya, bahkan melebihi apa yang diwajibkan. Dalam hal ini, ihsan meliputi tindakan adil, dimana seseorang memberikan apa yang seharusnya diberikan kepada orang lain. Sebagai contoh, seorang ayah yang memberikan keperluan kepada anaknya dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan telah melaksanakan tindakan adil.

Di sisi lain, tindakan yang bertentangan dengan prinsip adil disebut dolim. Dolim dapat terjadi ketika seseorang tidak memberikan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada orang lain, seperti ketika seseorang tidak memberikan nafkah kepada istrinya.

Namun, ihsan tidak hanya tentang melakukan yang wajib dan adil, tetapi juga tentang melakukan yang lebih dari itu. Ihsan juga mencakup melakukan perbuatan yang seharusnya dilakukan, tetapi tidak diwajibkan, seperti memberikan sedekah dengan sukarela dan memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan.

Dalam konteks adil, seseorang dianggap telah melakukan ihsan jika mampu menunaikan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah dengan penuh tanggung jawab. Adil dan ihsan merupakan dua konsep yang saling melengkapi, di mana melakukan yang wajib dan adil adalah syarat minimum untuk mencapai ihsan, yaitu melakukan perbuatan dengan sebaik-baiknya.

Syahadatain 

Syahadatain terdiri dari:

  1. Uluhiyah (ketuhanan), yaitu kesaksian bahwa Allah adalah Tuhan. Dalam hal ini, seorang Muslim meyakini bahwa hanya ada satu Tuhan yang berhak disembah dan diibadahi, yaitu Allah SWT.
  2. Nubuwah (kenabian), yaitu kesaksian bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Seorang Muslim meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus oleh Allah SWT untuk membawa risalah-Nya kepada manusia.

Makan "lailaha":

  1. Meniadakan penyembahan kpd selain Allah;
  2. Menghilangkan kesyirikan;
  3. Wajib mengingkari penyembahan selain Allah.

Makna "Illallah":

  1. Menghamba kepada Allah saja;
  2. Beribadah hanya kepada Allah;
  3. Berdoa dan bertawakkal hanya kepada Allah.

Dzihar

Ada sebuah praktik di kalangan orang Arab pada saat itu yang disebut "dzihar". Dzihar adalah sebuah ungkapan yang digunakan oleh suami kepada istrinya, di mana suami menyatakan bahwa istrinya seperti ibunya bagi suami, sehingga suami tidak akan melakukan hubungan intim dengan istrinya lagi. Ungkapan ini dianggap sebagai bentuk penghinaan dan menunjukkan kurangnya penghargaan terhadap perempuan.

Pada saat itu, seorang perempuan bernama Khawlah binti Tha'labah mengadukan masalah ini kepada Nabi Muhammad saw. Khawlah binti Tha'labah mengetahui bahwa praktik dzihar tidak adil bagi perempuan dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun, pada awalnya, Nabi Muhammad saw tidak mengetahui bagaimana menyelesaikan masalah ini karena tidak ada ayat dari Allah yang secara eksplisit membahas tentang dzihar.

Namun, kemudian Allah SWT menurunkan ayat dalam Surah Al-Mujadilah (58:1-4) yang menegaskan bahwa dzihar adalah sesuatu yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Ayat tersebut menyatakan bahwa dzihar bukanlah sebuah cara yang layak untuk memperlakukan istrinya, dan bahwa suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang lebih baik. Ayat tersebut juga menegaskan bahwa perempuan memiliki hak untuk melindungi diri mereka sendiri dan mengadu kepada Allah jika mereka merasa diperlakukan secara tidak adil.

Dengan penurunan ayat ini, Nabi Muhammad saw kemudian menetapkan aturan-aturan baru tentang dzihar dan memberikan hak-hak yang lebih besar bagi perempuan. Karena itu, peristiwa ini dianggap sebagai contoh bagaimana Islam memberikan perlindungan dan hak-hak yang adil bagi perempuan, dan menunjukkan betapa pentingnya mendengarkan keluhan dan perlindungan perempuan dalam masyarakat Islam.


Tiga Perkara yang Dapat Membatalkan Syahadat

Tiga perkara yang dapat membatalkan syahadat, yaitu:

  1. Murtad atau Riddah, yang artinya meninggalkan agama Islam secara sadar dan dengan sengaja. Tindakan ini dapat membatalkan syahadat seseorang.
  2. Syirik, yaitu mempersekutukan Allah dengan sesuatu atau seseorang yang lain. Dalam Islam, syirik dianggap sebagai dosa besar dan dapat membatalkan syahadat seseorang.
  3. Ingkar, yaitu menolak atau tidak menerima ajaran Islam. Dalam Islam, orang yang tidak mengakui ajaran Islam dan tidak mempercayai kebenaran yang diajarkan dalam Islam dianggap telah melakukan tindakan yang membatalkan syahadat.

Maqam Ibadah Rabiah Al Adawiyah

Pertama, maqam ibadah Rabiah Al Adawiyah sudah jauh berbeda dengan maqam ibadah kita. Ini menggambarkan betapa tingginya tingkat spiritualitas dan kecintaan pada Allah yang dicapai oleh Rabiah Al Adawiyah dalam kehidupannya.

Kedua, dalam ibadah kita sehari-hari, niat saja sudah terkadang dipenuhi oleh pemikiran-pemikiran lain, dan kita seringkali kesulitan dalam mencapai khusyuk. Namun, hal tersebut tidak berarti bahwa kita tidak bisa meningkatkan kualitas ibadah kita dengan terus berusaha dan berdoa.

Ketiga, ucapan Rabiah Al Adawiyah yang menyatakan bahwa ia tidak lagi beribadah karena mengharap surga dan tidak takut neraka sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dia hanya mengungkapkan bahwa motivasinya dalam beribadah lebih didasarkan pada kecintaan kepada Allah daripada harapan untuk mendapatkan pahala atau takut terkena hukuman.

Terakhir, motif dari kehidupan Rabiah Al Adawiyah terbentuk setelah melalui proses panjang yang mungkin berbeda dengan kita. Oleh karena itu, sebagai umat muslim kita harus menghargai perbedaan dalam pandangan dan pemahaman spiritual antara satu dengan yang lainnya.
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak