Kisah Sarjana dan Ustaz Kampung



Sarjana itu membanggakan toga dan nilai Cum Laude-nya. Bersama ijazah kelulusannya, ia berpotret di hadapan kamera, membayangkan masa depan cerah akan menyambutnya.

Dengan nilai yang gemilang itu, ia lupa bahwa ia adalah bagian dari masyarakat, lahir dari masyarakat, dan hidup bersama masyarat. Lalu, mengapa ia gagap di tengah masyarakat?

Gelar-gelar mengagumkan yang kini tercantum di belakang namanya, membuat ia merasa tinggi dan tanpa sadar membangun sebuah dinding pembatas yang menjauhkan jarak sosial antara ia dengan masyarakatnya. Pikirnya, orang-orang desa mana tahu teori kelas sosial Karl Marx, atau, orang-orang kampung mana paham definisi masyarakat yang dikemukakan oleh Max Weber.

Memang orang-orang di desa tidak mengerti semua teori itu. Namun setidaknya, masyarakat di desa tak pernah membangun pagar besi yang tinggi menjulang karena takut rumahnya kemalingan. Pagar itu telah mereka bangun dalam bentuk kepercayaan dengan tetangganya, dengan masyarakatnya.

Ia juga lupa, tak ada yang lebih ikhlas mengabdi pada masyarakat daripada ustaz dan ustazah di desa-desa dan kampung-kampung, yang rela mengajar Iqra, Aqidatul Awam hingga Hadist Arbain, dengan hanya digaji beberapa kilogram beras dan sedikit amplop untuk anak-anaknya bersekolah.

Jika mau, mereka tentu telah menghentikan jerih lelahnya itu, dan membiarkan anak-anak kampung itu merantau, lalu pulang dengan paham liberal dan kapitalis yang dibanggakannya.

Namun, ternyata tidak demikian. Keikhlasan mereka menanamkan dasar pemahaman tentang tauhid dan akhlak, tak pernah meminta balasan materi apa pun. Mereka hanya berdoa agar anak-anak kampung itu mampu bertahan menghadapi gelombang godaan duniawi yang tak kenal ampun. Sepulangnya merantau, berharap murid-muridnya datang membersihkan kuburnya, lalu menghadiahkan fatihah bersama dengan suasana desa yang tetap saja sunyi.

@apostrof.id
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak