Setelah berhari-hari berjalan jauh, Tsabit bin Marzaban, beristirahat di sebuah kebun apel. Karena lapar, ia memetik satu buah apel dari ranting yang menjuntai rendah, lalu memakannya. Di tengah lahapnya, ia tersadar bahwa ia sedang memakan buah tanpa seizin pemilik kebun.
Dicarinya pemilik kebun. Ia sampai di sebuah rumah tak jauh dari situ, dan benar dialah orangnya.
Tsabit menjelaskan semuanya dari awal. Dengan penuh penyesalan, ia mengharap kemaafan pemilik kebun.
Pemilik kebun menerima permintaan maaf Tsabit, dengan syarat ia bersedia menikahi putrinya. Tsabit terkejut sekaligus senang.
"Sebentar. Saya ingin Anda tahu tentang dirinya. Dia buta, tuli, bisu dan lumpuh."
Wajah Tsabit berubah kaget dan gusar.
Sang pemilik kebun memberi kesempatan kepada Tsabit untuk menginap semalam di rumahnya untuk memikirkan jawabannya.
Keesokan paginya, Tsabit menemui sang pemilik kebun.
"Ini keputusan terberat yang pernah saya buat. Saya tak pernah menyangka Anda meminta saya untuk menikahi putri Anda hanya karena memakan buah tersebut. Tak mungkin sedikit bagian buah menghancurkan mimpi Saya."
"Anda tak perlu menjelaskannya! Kenapa Anda tidak kabur saja?!"
"Tuan, saya setuju menikahi putri Anda. Saya memilih ini daripada harus memikul dosa seumur hidup."
Tak lama berselang, Sang Pemilik kebun menikahkan putrinya dengan Tsabit. Raut kesedihan dan penyesalan menggelayuti wajahnya.
Tsabit masuk ke dalam kamar dan melihat wanita yang sangat cantik menghampirinya. Tsabit tercengang, takjub dan terkejut.
"Ayahmu berkata bahwa kau buta, bisu, tuli, dan lumpuh."
Wanita itu menjawab:
"Aku buta dari melihat hal-hal yang diharamkan. Aku tuli dari mendengar hal-hal yang diharamkan. Aku bisu dari mengatakan hal-hal yang diharamkan. Dan aku lumpuh dari berjalan menuju tempat yang diharamkan.
Ayahku telah lama mencari pasangan untukku. Ketika ia melihat betapa takutnya engkau kepada Allah karena buah yang kau makan, dia tahu bahwa kaulah orang yang tepat untukku."
Dari pasangan itulah lahir seorang anak yang kelak menjadi salah satu manusia terbaik di muka bumi, Abu Hanifah RA.
Sumber: Cordova Media
@apostrof.id