Di panggung kehidupan itu, dari sebelah utara ada dua ekor unta berjalan beriringan membawa seorang lelaki dan seorang perempuan serta bayi kecil yang masih disusui. Lelaki ini adalah Ibrahim. Adapun perempuan yang bersamanya adalah Hajar, istri keduanya yang berasal dari Mesir yang sebelumnya merupakan pelayannya. Sedangkan, bayi kecil itu adalah anak mereka bernama Ismail. Senyapnya perjalanan membuat pikiran Ibrahim dan Hajar merasa takut dan cemas akan bahaya yang mungkin saja datang menghampiri mereka.
Meskipun Nabi Ibrahim sudah berumur, beliau masih sangat menginginkan buah hati. Sampai-sampai, Sarah mengizinkan beliau untuk menikahi budak perempuan mereka Hajar. Tatkala Hajar melahirkan seorang anak, Ibrahim tidak dapat menahan rasa bahagianya, sehingga ekspresi bahagianya sangat terlihat jelas oleh Sarah. Api cemburu pun membakar hati Sarah terhadap Hajar budaknya dan anaknya Ismail.
Nabi Ibrahim membawa buah hatinya Ismail kecil beserta ibunya Hajar jauh dari negeri Palestina menuju negeri yang tak berpenghuni dan jauh dari peradaban. Dia lalu meninggalkan keduanya di tengah-tengah gurun nan tandus itu, sedangkan Nabi Ibrahim pulang kembali ke tanah Palestina. Timbul pertanyaan dalam benak kita, kenapa tanah hampa ini yang dipilih oleh Ibrahim? Apakah tidak cukup jika beliau membuat rumah yang jauh dari Sarah tapi masih berada di negeri Palestina? Bagaimana bisa beliau merelakan buah hatinya terdampar di tengah-tengah gurun yang mengerikan? Apakah beliau membiarkan anak dan istrinya sampai waktu yang ditentukan kemudian beliau kembali kepada istri pertamanya?
Akan tetapi, Hajar tanggap, dia langsung menanyakan kenapa suaminya meninggalkannya, "Apakah Allah yang menyuruhmu wahai Ibrahim?" Nabi Ibrahim menjawab, "Iya, benar." Lalu Hajar berkata, "Kalau demikian, Allah tidak akan menelantarkan kami." (HR. Bukhari 3364).
Jadi, kepergian Nabi Ibrahim tidak ada hubungannya dengan kecemburuan Sarah atau alasan lain, melainkan karena perintah Allah kepadanya. Dari luar memang terlihat sulit dan sukar, tapi hakikatnya itu merupakan rahmat dan hikmah yang tinggi, serta kemaslahatan bagi manusia.
Dikuti dari buku Muhammad Sang Yatim Karya Prof. Dr. Muhammad Sameh Said
@apostrof.id | t.me/apostrofid