Amerika Perlu Belajar Cara Menghargai Perbedaan Dari Islam



Dalam dakwah terakhir Nabi Muhammad di padang Arafah pada 632 M, beliau adalah orang pertama dalam sejarah yang menyatakan bahwa tidak ada manusia yang lebih tinggi derajatnya dari manusia lain berdasar ras atau etnis yang dimiliki.

Nabi mengutuk rasisme dengan mengatakan semua keturunan Adam dan Hawa, tidak ada superioritas kaum Arab atas non-Arab, non-Arab atas Arab, orang putih atas orang hitam, atau orang hitam atas orang putih, semua sama, kecuali karena kesalehan dan perbuatannya baiknya.

Sehingga tak heran, dalam bukunya "Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah", Michael H. Hart menempatkan Nabi Muhammad dalam urutan paling atas buku tersebut.

Padahal Nabi Muhammad dilahirkan di bagian agak selatan Jazirah Arabia, suatu tempat yang waktu itu merupakan daerah yang paling terbelakang di dunia, jauh dari pusat perdagangan, seni maupun ilmu pengetahuan.

Sedangkan negara demokrasi terbesar di dunia saat ini, Amerika Serikat tengah terbakar, dipicu oleh masalah yang tidak dapat diselesaikan negara selama berabad-abad: rasisme.

Puluhan ribu orang terus berdemonstrasi untuk memprotes kematian George Floyd, seorang pria keturunan Afrika yang meninggal di Minneapolis ketika seorang polisi berkulit putih terus berlutut di lehernya, bahkan setelah dia memohon karena dia tidak bisa bernapas.

Amerika perlu belajar perbedaan dari islam. Sebagaimana Nabi Muhammad memperlakukan dan begitu mencintai Bilal Bin Rabbah, seorang muazin berkulit hitam, bersuara merdu. Keduanya diikat cinta karena Allah.

Setelah kepergian Rasulullah, setiap Bilal mengumandangkan azan dan sampai pada lafaz, “Asyhadu anna muhammadan ...”, tiba-tiba air matanya mengalir. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang mendengarnya tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah isak tangis yang membuat suasana mengharu biru.

Tak cukupkah tangisan itu menjadi bukti bahwa islam tak pernah sedikit pun memandang manusia berdasar perbedaan yang melekat pada tubuhnya?

Amerika, begitulah seharusnya cinta. Ia tak pernah memandang ras atau warna kulit. Selama ia mempunyai kebaikan dalam hatinya, siapa pun ia, berlaku adil pada semua adalah bagaimana islam mendefinisikan cinta.

@apostrof.id
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak