Setiap malam aku mengumpulkan kata-kata, dengan sebilah pena, mengambil sepertiga dari gelapnya malam, sepertiga dari lembayung jingga menjelang maghrib, dan sepertiga lagi dari sunyinya fajar menjelang pagi.
Ramadan sebentar lagi pergi. Tapi rasa-rasanya sedikit sekali yang bisa kuambil selaras dengan secuil sekali perubahan berarti dalam diri. Menjadi lebih peduli masih sebatas niat di dalam hati, menjadi bertakwa barangkali masih dalam tahap semoga.
Yang berubah hanya pola tidur dan pola makan. Selebihnya adalah kebiasaan yang dipaksa mengikuti suasana.
Ramadan, barangkali di sepuluh malam terakhir ini kita perlu lebih banyak berbincang. Kalau boleh, izinkan aku bertanya dan berkisah,
"Mengapa berat sekali rasanya meniru Imam Syafii yang mengkhatamkan Al-quran 60 kali selama satu bulan? Apakah pinggan dalam hati ini tak cukup besar untuk menampung hidangan terlezat dalam perjamuan penyambutanmu?"
"Ramadan, aku takut, kalau-kalau puasaku ini hanya sebatas menahan lapar dan dahaga."
Tanpa sadar air mataku meleleh.
Dengan penuh senyum, Ramadan menjawab lembut.
"Apakah kamu pernah berpikir mengapa kamu merasa begitu bahagia ketika bertemu aku?
"Tidak," jawabku.
"Sebab Allah telah menciptakan demikian. Bagi Ramadan, hatimu adalah rumahnya."
Mendengar itu aku tersenyum.
"Satu lagi, dua kebahagian bagi orang berpuasa yang akan mereka temui di bulanku."
"Apa itu?"
"Ketika ia berbuka, dan ketika ia berjumpa dengan Tuhannya."
Kembali, aku tak mampu menahan air mataku.
"Ramadan, Jangan pergi, ya?" Pintaku.
"Tidak. Aku harus segera pergi." Jawabnya sambil berlalu.
@apostrof.id