Merayakan Hari Raya Di Perantauan



Hari raya tahun ini terasa begitu berbeda. Ada rindu-rindu yang tak bisa bertemu, ada tangan-tangan yang tak bisa saling menjabat, dan ada doa-doa yang tak bisa diucapkan sejarak mata memandang.

Meski petasan dan kembang api bertebaran menghiasi langit sepenjuru kota, rasa-rasanya tak ada perayaan malam kemenangan sesyahdu di kampung halaman. Dengan anak-anak yang bertabuh beduk berkeliling kampung, dengan suara takbir yang menggema di setiap masjid dan langgar, dan dengan wangi semerbak opor dan ketupat buatan ibu.

Hari raya tahun ini terasa begitu berbeda. Dalam kebingungan yang memuncak itu, entah mengapa dada ini begitu sesak, setelah malam tadi berpisah dengan tarawih, dengan kantuk-kantuk di waktu sahur, dan dengan kebahagian menyambut kumandang azan maghrib, seolah ada hati yang tak ikhlas melepasnya pergi. Padahal baru sebentar berpisah, sudah saja rindu.

Merayakan hari raya di perantauan, membuatku harus mengatakan ini:
"Mak, ayah, maafkan aku. Raya ini tak mampu menjabat tanganmu untuk menuai maaf. Bukan karena tahun ini aku tak melakukan sekecil pun khilaf, melainkan bersebab tangan ini tak mampu menyederhanakan jarak."

Meski aku tahu, kata maaf tak pernah memerlukan hegemoni perayaan berbatas waktu. Maaf adalah bahasa hati yang bisa diucapkan kapan pun, di mana pun, dan dalam keadaan bagaimana pun. Meski begitu, mereka yang memulakan maaf adalah pemberani, dan mereka yang bersedia menerima maaf adalah berjiwa kuat.

Merayakan hari raya di perantauan, membuatku merindukan syair-syair Abu Nawas yang terdengar merdu menghias sore, setelahnya menyaksikan anak-anak menghentikan permainan dan berhamburan ke rumah masing-masing setelah mendengar kumandang azan, segera mengambil sarung-sarung dan mukena-mukena mereka, kemudian berlomba mengambil air wudhu. Sembari menunggu iqomah, mereka melengkingkan suaranya begitu keras melantunkan salawat nariyah. Oh, betapa ingatan-ingatan itu membuatku bertambah rindu.

Biar jarak tetap jauh, biar kaki tak menapak pada tanahnya, dan biar rindu kian menggebu-gebu, asal lantunan takbir, tahlil, dan tahmid menghias di sepanjang malam, sudah cukup menjadi pengobat rindu antara aku dan handai taulan di kampung halaman.

Maafkan jika @apostrof.id punya banyak salah, ya.

Selamat hari raya idul fitri 1441 H. Taqabballahu minna wa minkum😊🙏

@apostrof.id
Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak