Keputusasaan menyelimuti perasaan sang ayah. Ia merobek jubahnya dan membentangkannya ke tanah. Dunia telah hancur. Harinya telah berubah menjadi malam yang tak kunjung berakhir. Ia menghela nafas dalam-dalam, dan mencoba mendapatkan kembali kesabaranya, kemudian berkata kepada Majnun:
"Kau pernah merekah seperti bunga-bungaku. Namun kini, mahkotamu layu dan berguguran. Aku tidak dapat lagi mengenali dirimu.
Lihatlah dirimu! Kau si sakit cinta yang kekanak-kanakkan.
Siapakah yang telah mengutukmu hingga seperti ini? Mengapa engkau berbuat sebodoh ini? Tidakkah kau lihat apa yang telah kau perbuat terhadap dirimu sendiri?
Kalau kau tidak dapat melihatnya, biarkan aku menjadi cerminmu. Biar kuperlihatkan kepadamu, apa yang sedang kau perbuat. Agar kau berhenti.
Lepaskan hatimu dari perbudakan ini!"
Sang ayah memeluk anaknya dengan tangan yang gemetar. Lalu, dengan air mata meleleh di pipinya, ia melanjutkan kata-katanya.
"Kau bahkan tidak memandangku. Anakku, kau tidak perlu mengucilkan diri, setidaknya selama masih ada tempat untukmu di hatiku.
Aku mohon padamu, sadarlah, sebelum semuanya terlambat.
Berbaurlah dengan mereka yang tertawa. Agar kau memperoleh bahagia.
Bukankah gunung yang agung terdiri dari butiran-butiran kecil pasir?
Bukankah samudera yang luas terdiri dari tetesan-tetesan kecil air?
Dengan kesabaran, kebahagiaanmu juga akan tumbuh. Ia akan tumbuh membesar. Hingga seluruh kesedihan yang kau derita sekarang akan terlupakan.
Yang kau perlukan adalah waktu-waktu dan kesabaran. Dan dengan waktu dan kesabaran itu, kau akan melupakan dia. Dan sudah sepantasnya demikian.
Lagi pula, mengapa kau serahkan hatimu pada mawar yang merekah tanpamu? Sedang kau terpuruk di dalam lumpur.
Hanya hati yang terbuat dari batu yang mampu meremukkan hati seperti milikmu. Itulah yang telah dilakukannya. Oleh sebab itu, lupakanlah Laila!
Duhai anakku tersayang, kau lebih berharga bagiku daripada hidup ini. Aku mohon padamu, pulanglah!
Apa yang kau dapat dari gunung ini selain kepedihan, kesedihan, dan air mata?
Kalau kau tetap di sini, kegilaanmu akan bertambah. Dan pada akhirnya kau akan tersesat untuk selamanya. Bahkan tersesat di dalam dirimu sendiri."
Hati ayah mana yang tidak sedih dan tercabik-cabik melihat sang anak tersiksa karena kegilaannya kepada cinta. Meski begitu, sang ayah terus berusaha menyadarkan Majnun, agar ia kembali kepada kesadarannya.
Setelah ayah Majnun menasihatinya, seperti apakah jawaban Majnun? Nantikan di postingan berikutnya :)
Narasi dalam buku Maha Cinta Laila Majnun / Yt Upick Ahmad
@apostrof.id