Majnun diam dalam keheningan. Begitu kata-kata ayahnya melemah, ia lalu menjawab:
"Duhai tuanku terhormat. Engkau adalah kebanggaan bangsa Arab. Serta pemilik dari semua yang kaulihat. Dan kau adalah ayahku, yang kucintai sepenuh hati, dan kuhormati dengan seluruh jiwaku.
Namun duhai ayahku, engkau menyuruhku untuk melakukan sesuatu yang mustahil. Aku tidak pernah memilih jalan yang aku tempuh, aku telah dilempar ke dalamnya.
Aku menjadi budak cinta karena suratan takdir yang menjadikanku seperti ini.
Apakah bulan terbit dengan kekuatannya sendiri? Apakah gelombang pasang naik dan turun dengan kekuatannya sendiri?
Jelajahi dunia dan pelajari semua makhluk hidup, dari semut sampai gajah. Dan engkau akan menemukan bahwa tidak ada makhluk yang tidak diatur oleh ketentuan dan ketetapan takdir.
Duhai ayahku, ada sebongkah batu yang menghimpit di dasar hatiku. Siapakah yang mampu memindahnya? Bukan aku.
Aku menanggung beban yang telah diletakkan di pundakku oleh takdir. Bahkan jika aku berusaha mulai dari sekarang sampai hari kiamat pun aku tidak akan pernah bisa menghempaskan beban ini ke tanah.
Engkau bertanya kepadaku mengapa aku tidak mencoba tertawa.
Mungkinkah seorang ibu tertawa ketika anaknya dikuburkan? Apakah sesuai dengan akal sehat, bila seseorang dalam posisiku masih dapat tertawa?
Duhai ayah, ketika sesorang tertawa dalam situasi yang tidak layak baginya tertawa, dia akan hidup dalam penyesalan karena terlalu gampang tertawa.
Aku pun tidak memilik alasan untuk tertawa.
Memang benar duhai ayahku, bahwa engkau telah memperingatkanku, tapi apakah seorang Pecinta akan peduli terhadap ancaman kematian? Seseorang yang telah dilahap oleh cinta tidak akan gentar mendengar kata kematian.
Dimanakah pedang yang menggantung di atasku itu? Biarkan ia jatuh!
Laila adalah satu-satunya rembulan dalam cakrawala hidupku. Karena takdir telah meniupkan awan yang telah menutupi rembulan itu.
Biarkan bumi menelanku. Jika jiwaku terhempas karena dia, maka biarlah, setidaknya hempasan itu terasa seperti surga.
Sekarang biarlah aku pergi! Aku mohon padamu, semangatku telah hilang, jiwaku telah tersesat selamanya.
Apa lagi yang kau inginkan dariku?"
Begitu Majnun memilih jalan hidupnya, untuk tersesat dalam lautan cinta Laila. Jawaban yang justru membuat hati sang ayah semakin bersedih dan tidak kuat menahan air mata.
@apostrof.id