Seperti Yusuf yang lebih memilih mendekam dalam penjara, dibanding melayani Zulaikha.
Seperti Maryam yang terus menerus berdoa dalam mihrabnya.
Seperti Yunus yang terjebak dalam perut paus, dan menyesali perbuatannya.
Seperti Muhammad yang berhalwat dalam gua hira sebelum menerima wahyu pertama.
Dan seperti kita yang harus berdiam diri di rumah, agar raga tetap terjaga.
Mengetahui segala kisah di atas, kita sadar bahwa tak ada yang buruk dari berdiam diri, menepikan diri sejenak dari keramaian.
Mungkin, inilah saatnya kita merenungi isi pidato kepala desa: Segala puji bagi Allah yang telah memberi nikmat sehat, sehingga kita bisa berkumpul bersama dalam acara ini.
Bukankah terdengar sederhana? Bahwa nikmat dapat berkumpul bersama orang-orang yang kita cintai seringkali terlupa.
Bukankah merapatkan kaki dalam rapatnya shaf sholat berjamaah begitu kita rindukan? Bukankah berjumpa dan bertukar cerita dengan teman sepermainan begitu kita cita-citakan?
Semoga setelah ini usai, ada hati yang lebih kuat untuk bersyukur, ada mulut yang lebih terjaga ketika berucap, dan ada ikhlas yang lebih tulus dari sebelumnya.
Agar ramadhan menyambut kita dengan gembira, dengan ramainya tarawih-tarawih, dengan riuhnya anak-anak berebut takjil menjelang berbuka, dan dengan kerasnya takbir kemenangan menjelang hari raya.
Sebab kita tak pernah membayangkan bila riuhnya hari raya dirayakan tanpa bersama.
Katakan 'amin' bila kamu menginginkan segalanya kembali baik-baik saja.
@apostrof.id