Sayup-sayup lantunan adzan terdengar berbeda kali ini: Shalatlah di rumah kalian masing-masing! sholatlah di rumah kalian masing-masing! Kemudian di akhiri dengan kalimat tahlil yang tertahan menahan tangis.
Semua terhenyak kaget, dan bertanya, ada apa?
Air mata pecah mengalir, pada mereka yang hatinya telah terpaut pada masjid, pada mereka yang rindu teriakan dan tangis anak-anak kecil berlarian di dalam masjid, dan pada mereka yang telah tiga kali kehilangan sandalnya di masjid.
Mengingat ini, pikiranmu berhamburan haru. Menyadari bahwa kehilangan sandal di masjid lebih membahagiakan dari apa pun jua. Sebab, ianya merupakan bukti bahwa kita pernah menginjakkan kaki di sana. Berdoa dan berharap, agar sandal yang telah hilang tersebut menjadi saksi, bahwa masjid telah menjadi pemberhentian paling sering dikunjungi.
Air mata bertambah deras, ketika mereka membayangkan satu hari nanti masjid hanya menjadi tempat muazin kesepian, tempat sampul Al-quran di sudut masjid tertutupi debu-debu karena tak ada lagi yang membaca, dan tempat deretan kran air masjid yang tak lagi meneteskan air sebab tak ada lagi yang mengantri berwudhu.
Yang bisa kita lakukan hanya menunggu. Menunggu mereka yang merindu untuk mencurahkan kerinduannya, atau, menunggu seluruh masjid di seluruh penjuru dunia mengumandangkan lantunan yang sama. Sehingga mereka yang tak pernah datang ke masjid, tiba-tiba pula ikut merindu.
Begitulah Allah melakukan dengan cara-Nya. Bila lantunan "Hayya Alas-Sholah" tak lagi mampu mengundang manusia untuk datang, cukuplah lantunan "Shollu Fi Buyutikum" membuat setiap jiwa yang mendengarnya tergetar.
@apostrof.id