Air matamu tiba-tiba mengalir, ketika mendengar syair-syair tentang kerinduan kota Tarim.
Aku memberanikan diri untuk bertanya,
"Mengapa engkau begitu mengagumi kota itu?"
Bagaimana tidak, sedang Tarim adalah alasan segala lautan ilmu dan adab terpendam. Padanya, tak pernah ada sampan yang berhasil melewati gemuruhnya gelombang rindu.
Bagaimana tidak, sedang ibu-ibu mereka membesarkan anak-anak mereka dengan lantunan dzikir dan salawat. Hingga dari situlah bermula ulama-ulama besar yang menjadi Waliyullah.
Bagaimana tidak, sedang pembicaraan di antara mereka hanyalah seputar adab, akhlak, majelis ilmu, tasawuf, dan Al-quran.
Bagaimana tidak, sedang wanita-wanita mereka begitu pemalu. Sebab dibesarkan dengan akhlak dan ilmu. Hingga ketika mereka berjalan dan berpapasan dengan lelaki yang bukan mahramnya, mereka menepi, membiarkan baju mereka berdebu, tergores tembok rumah yang dilaluinya.
Bagaimana tidak, sedang wanita-wanita Tarim menjadikan Sayyidah Fatimah sebagai panutan bagaimana mereka bersikap lembut, pula menjadikan Sayyidah Khadijah sebagai suri tauladan bagaimana mereka menjaga setia terhadap orang yang dicintainya.
Boleh jadi, itulah yang membuat bidadari-bidari surga yang parasnya tertulis seanggun permata yakut dan marjan pun, mencumburui mereka.
Aku terdiam.
Bulir-bulir air mata tak henti-hentinya mengalir dari matamu seolah berkata: Aku rindu, aku rindu, aku begitu merindumu, Yaa Tariiim.
@apostrof.id