Berpikirlah seperti Buya Hamka, yang keras dalam berprinsip, yang lembut dalam bersikap, yang menjadi sastrawan, budayawan sekaligus politisi yang mencintai agama.
Menulislah seperti Buya Hamka. Yang kata-kata cintanya tidak semata-mata untuk urusan dunia, tetapi juga untuk Tuhannya, hingga tercipta karya yang mengguncang dunia: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Yang bercerita tentang Zainuddin, lelaki kelahiran Makassar yang menaruh hati pada Nur Hayati, seorang gadis minang yang lembut tutur dan senyumnya.
Namun, perbedaan suku, adat dan strata sosial seolah tidak mengizinkan mereka untuk saling jatuh cinta.
Hingga Zainuddin berkata, yang menggambarkan kemarahan sekaligus kecintaan yang begitu sulit dijelaskan: "Demikianlah perempuan. Dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya walaupun kecil, dan ia lupa kekejamannya sendiri pada orang lain padahal begitu besarnya."
Bersabarlah seperti Buya Hamka. Dituduh berbuat makar dan dijebloskan ke penjara, namun dalam perundungannya menghasilkan tafsir Al Azhar yang luar biasa.
Dan siapa pun yang membaca ini, tetaplah berkarya meski tak bernama, meski tak dielu-elukan, meski tak dipuja-puja. Sebab, beberapa orang gagal menjaga ikhlas ketika masyhur telah mendekap nama.
Tapi tidak dengan Buya Hamka. Ia menulis sebagai wujud kecintaan terhadap Tuhannya, sebab baginya cinta tak pernah mengajarkan kelemahan, tetapi membangkitkan kekuatan.
@apostrof.id