Banjir. Seolah hanya sebatas rintik hujan yang menggenang dan tak ada makna lain di dalamnya. Benarkah demikian?
Bukankah Allah menumpahkan air dari langit kepada kaum Nuh sebagai pertanda?
Bukankah Allah membuat perumpaan sebuah batu yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, sehingga batu itu tinggal sebongkah batu licin, juga sebagai pertanda?
Begitu pun banjir di Jabodetabok dan sekitarnya yang sekarang masih menggenang. Darinya Allah ingin kita membaca pertanda sederhana: Siapakah yang masih peduli terhadap saudara sesamanya?
Memang manusia begitu mudah menyalahkan. Boleh jadi itu adalah keahlian terbesarnya. Banjir adalah ulah tangan bodoh manusia, banjir adalah azab, banjir adalah ketidakbecusan penguasa, dan umpatan lain yang serupa. Namun ketika mereka diminta membantu, mulutnya membisu, langkahnya membatu.
Sekarang bukan waktunya untuk menyalahkan dan mempertanyakan apakah banjir yang datang adalah bagian dari peringatan atau ujian. Yang pasti, banjir sedang mengajarkan kita makna sabar.
Sekarang adalah waktunya bahwa tindakan lebih dibutuhkan dari kata-kata. Dan kepedulian harus diwujudkan dalam kata kerja.
Sebab itulah pertanda bahwa manusia berharga di mata Sang Pencipta.
@apostrof.id