Tak berapa lama ia dituduh sebagai pemecah belah. Menjauhkan anak dari ibunya, memutuskan hubungan adik dari kakaknya, dan memisahkan suami dengan istrinya.
Tukang sihir, penyair, dan segenap julukan aneh diberikan untuk melemahkan seruannya. Padahal setiap orang yang mengenalnya tahu, bahwa sifat jujur dan dapat dipercaya begitu melekat pada namanya.
Lelah tak peduli. Hina dan caci ia terima dengan lapang hati.
Betapa aku ingin memeluk dan membersihkan darah di tubuhnya ketika anak-anak dan wanita kaum Tsaqif melontarnya dengan batu. Jibril datang dan menawarkan untuk menjungkirbalikkan kaum itu dengan Gunung Uhud.
Lelaki itu menjawab dengan kesabaran yang begitu indah: "Jangan! Mereka adalah kaum yang tidak mengerti. Semoga keturunan yang beriman lahir dari mereka."
Dalam perjalanan 23 tahun dakwahnya, aku seolah menyaksikan langsung lautan manusia berjejal dan berdesak di Padang Arofah. Mereka begitu kagum dan khusyuk mendengar khutbahnya yang terakhir kali di atas bukit Rahmah ketika melaksanakan haji Wada.
Merasa takjub menyadari bahwa islam dulu dibawa seorang diri hingga kini telah bersaksi 1,5 milyar manusia di muka bumi akan kebenaran agama ini.
Semoga kita bisa membersamainya dalam singgasananya di surga kelak. Aku begitu merindumu, Ya Muhammad.
@apostrof.id