Hagia Shophia

Kelak, suatu masa, aku ingin kita duduk berdampingan di bangku panjang pelataran Hagia Sophia. Berbincang tentang kebesaran Turki di masa lampau, tentang seorang pemuda muslim penuh ambisi, Muhammad Al-Fatih. Di mana pada usia 21 tahun, ia telah membuktikan kebenaran hadits Rasulullah 8 abad sebelumnya. Bahwasanya ialah sebaik-baik pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baik pasukan. Dibuktikan dengan dibukanya Konstantinopel di tangannya.

Kemudian aku tertunduk malu, menyadari bahwa di usia yang sama aku bukan apa dan siapa. Aku masih sibuk bermesraan dengan telepon pintar, mengunggah insta story untuk menunjukkan eksistensi diri: sedang dimana, sedang apa, pencapaian apa yang telah diraih, serta panjat sosial lain yang dilakukan laiknya anak muda seumuran.

Tiba-tiba kamu menepuk pundakku dan berucap lembut, "Untuk berbuat baik, Allah tidak melihat kamu masih muda atau sudah tua."

Aku tertegun dan menoleh ke matamu yang masih mengambang. Sedetik setelahnya sama-sama tertawa dan aku, sesekali melirik senyummu di sela tawamu.

Perbincangan itu menghangat, namun tidak dengan cuaca sore itu. Kuseruput secangkir kopi hangat guna menghalau udara dingin yang mencumbui telinga. Di waktu itu pula, aku mengungkapkan kejujuran tentang betapa hangatnya aku di sampingmu. Dan kejujuran itu membuatmu memeluk erat lenganku dan bersandar di pundakku seraya berkata lembut,

"Seni tanrı yüzünden seviyorum."

Kubalas lirih membisiki telingamu,

"Wa ana uhibbuki fillah."

@apostrof.id

1 Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak